Sunday, February 12, 2012
Agar Buah Hati Menjadi Penyejuk Hati
Agar Buah Hati Menjadi Penyejuk Hati
بسم الله الرحمن الرحيم
Kehadiran sang buah hati dalam sebuah rumah tangga bisa diibaratkan seperti keberadaan bintang di malam hari, yang merupakan hiasan bagi langit. Demikian pula arti keberadaan seorang anak bagi pasutri, sebagai perhiasan dalam kehidupan dunia. Ini berarti, kehidupan rumah tangga tanpa anak, akan terasa hampa dan suram.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (Qs. al-Kahfi: 46).
Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (Qs. at-Taghaabun: 14).
Makna “menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakuakan amal shalih dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[1].
Ketika menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…”[2].
Kewajiban mendidik anak
Agama Islam sangat menekankan kewajiban mendidik anak dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. at-Tahriim: 6).
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Maknanya) ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu.”[3]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka, seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka), kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya.”[4]
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan radhiallahu ‘anhu masih kecil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hekh hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah r dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?”[5] Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke masjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut.[6]
Metode pendidikan anak yang benar
Agama Islam yang sempurna telah mengajarkan adab-adab yang mulia untuk tujuan penjagaan anak dari upaya setan yang ingin memalingkannya dari jalan yang lurus sejak dia dilahirkan ke dunia ini.
Dalam sebuah hadits qudsi Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).“[7]
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan.”[8]
Perhatikanlah hadits yang agung ini, bagaimana setan berupaya keras untuk memalingkan manusia dari jalan Allah sejak mereka dilahirkan ke dunia, padahal bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia dan godaan-godaan duniawi lainnya, maka bagaimana keadaannya kalau dia telah mengenal semua godaan tersebut?[9]
Maka, di sini terlihat jelas fungsi utama syariat Islam dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjaga anak yang baru lahir dari godaan setan, melalui adab-adab yang diajarkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berhubungan dengan kelahiran seorang anak.[10]
Sebagai contoh misalnya, anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seorang suami yang akan mengumpuli istrinya, untuk membaca doa:
بسم الله اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezeki[11] yang Engkau anugerahkan kepada kami.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang suami yang ingin mengumpuli istrinya membaca doa tersebut, kemudian Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya“[12].
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa syariat Islam merupakan satu-satunya metode yang benar dalam pendidikan anak, yang ini berarti bahwa hanya dengan menerapkan syariat Islamlah pendidikan dan pembinaan anak akan membuahkan hasil yang baik.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin berkata, “Yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jika seorang hamba bertakwa kepada Allah, serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4)[13].
Pembinaan rohani dan jasmani
Cinta yang sejati kepada anak tidaklah diwujudkan hanya dengan mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi, yang lebih penting dari semua itu pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi-Nya Ya’qub ‘alaihissalam yang sangat mengutamakan pembinaan iman bagi anak-anaknya, sehingga pada saat-saat terakhir dari hidup beliau, nasehat inilah yang beliau tekankan kepada mereka. Allah berfirman,
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) kematian, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Rabb-mu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, (yaitu) Rabb Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya.’” (Qs. al-Baqarah: 133).
Renungkanlah teladan agung dari Nabi Allah yang mulia ini, bagaimana beliau menyampaikan nasihat terakhir kepada anak-anaknya untuk berpegang teguh dengan agama Allah[14], yang landasannya adalah ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-semata (tauhid) dan menjauhi perbuatan syirik (menyekutukan-Nya dengan makhluk). Di mana kebanyakan orang pada saat-saat seperti ini justru yang mereka utamakan adalah kebutuhan duniawi semata-mata; apa yang kamu makan sepeninggalku nanti? Bagaimana kamu mencukupi kebutuhan hidupmu? Dari mana kamu akan mendapat penghasilan yang cukup?
Dalam ayat lain Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi nasehat kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Qs. Luqmaan: 13).
Lihatlah bagaimana hamba Allah yang shalih ini memberikan nasihat kepada buah hati yang paling dicintai dan disayanginya, orang yang paling pantas mendapatkan hadiah terbaik yang dimilikinya, yang oleh karena itulah, nasehat yang pertama kali disampaikannya untuk buah hatinya ini adalah perintah untuk menyembah (mentauhidkan) Allah semata-mata dan menjauhi perbuatan syirik.[15]
Manfaat dan pentingnya pendidikan anak
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya– berkata, “Salah seorang ulama berkata, ‘Sesugguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat (nanti) akan meminta pertanggungjawaban dari orang tua tentang anaknya sebelum meminta pertanggungjawaban dari anak tentang orang tuanya. Karena sebagaimana orang tua mempunyai hak (yang harus dipenuhi) anaknya, (demikian pula) anak mempunyai hak (yang harus dipenuhi) orang tuanya. Maka, sebagaimana Allah berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْناً
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya.” (Qs. al-’Ankabuut: 8).
(Demikian juga) Allah berfirman,
قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. at-Tahriim: 6).
…Maka, barangsiapa yang tidak mendidik anaknya (dengan pendidikan) yang bermanfaat baginya dan membiarkannya tanpa bimbingan, maka sungguh dia telah melakukan keburukan yang besar terhadap anaknya tersebut. Mayoritas kerusakan (moral) pada anak-anak timbulnya (justru) karena (kesalahan) orang tua sendiri, (dengan) tidak memberikan (pengarahan terhadap) mereka, dan tidak mengajarkan kepada mereka kewajiban-kewajiban serta anjuran-anjuran (dalam) agama. Sehingga karena mereka tidak memperhatikan (pendidikan) anak-anak mereka sewaktu kecil, maka anak-anak tersebut tidak bisa melakukan kebaikan untuk diri mereka sendiri, dan (akhirnya) merekapun tidak bisa melakukan kebaikan untuk orang tua mereka ketika mereka telah lanjut usia. Sebagaimana (yang terjadi) ketika salah seorang ayah mencela anaknya yang durhaka (kepadanya), maka anak itu menjawab, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah berbuat durhaka kepadaku (tidak mendidikku) sewaktu aku kecil, maka akupun mendurhakaimu setelah engkau tua, karena engkau menyia-nyiakanku di waktu kecil maka akupun menyia-nyiakanmu di waktu engkau tua.’”[16]
Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mendidik anak,
“إن الرجل لترفع درجته في الجنة فيقول: أنى هذا ؟ فيقال: باستغفار ولدك لك”
“Sungguh, seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya, ‘Bagaimana aku bisa mencapai semua ini?’ Maka, dikatakan padanya, ‘(Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu.’“[17]
Sebagian dari para ulama ada yang menerangkan makna hadits ini yaitu, bahwa seorang anak jika dia menempati kedudukan yang lebih tinggi dari pada ayahnya di surga (nanti), maka dia akan meminta (berdoa) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kedudukan ayahnya ditinggikan (seperti kedudukannya), sehingga Allah pun meninggikan (kedudukan) ayahnya.[18]
Dalam hadits shahih lainnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika seorang manusia mati, maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya (diamalkan sepeninggalnya), dan anak shalih yang selalu mendoakannya.”[19]
Hadits ini menunjukkan bahwa semua amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shalih pahalanya akan sampai kepada orang tuanya, secara otomatis dan tanpa perlu diniatkan, karena anak termasuk bagian dari usaha orang tuanya[20]. Adapun penyebutan “doa” dalam hadits tidaklah menunjukkan pembatasan bahwa hanya doa yang akan sampai kepada orangtuanya[21], tapi tujuannya adalah untuk memotivasi anak yang shalih agar selalu mendoakan orang tuanya[22].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya– berkata, “(Semua pahala) amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shalih, juga akan diperuntukkan kepada kedua orang tuanya, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala anak tersebut, karena anak adalah bagian dari usaha dan upaya kedua orang tuanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Qs. an-Najm: 39).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, sebaik-baik (rezeki) yang dimakan oleh seorang manusia adalah dari usahanya sendiri, dan sungguh anaknya termasuk (bagian) dari usahanya.”[23]
Kandungan ayat dan hadits di atas juga disebutkan dalam hadits-hadist (lain) yang secara khusus menunjukkan sampainya manfaat (pahala) amal kebaikan (yang dilakukan) oleh anak yang shaleh kepada orang tuanya, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak dan yang semisalnya.…”[24]
Penutup
Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kita untuk lebih memperhatikan pendidikan anak kita, utamanya pendidikan agama mereka, karena pada gilirannya semua itu manfaatnya untuk kebaikan diri kita sendiri di dunia dan akhirat nanti.
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 20 Jumadal akhir 1430 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A
Artikel www.ManisnyaIman.com
[1] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/482).
[2] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 637).
[3] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[4] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
[5] HSR. al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
[6] Fathul Baari (3/355).
[7] HSR. Muslim (no. 2865).
[8] HSR. Muslim (no. 2367).
[9] Lihat kitab “Ahkaamul Mauluud Fis Sunnatil Muthahharah” (hal. 23).
[10] Ibid (hal. 24).
[11] Termasuk anak dan yang lainnya, lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/306).
[12] HSR. al-Bukhari (no. 6025) dan Muslim (no. 1434).
[13] Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimiin (4/14).
[14] Lihat keterangan Ibnu Hajar dalam “Fathul Baari” (6/414).
[15] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/586).
[16] Kitab “Tuhfatul Mauduud Biahkaamil Mauluud” (hal. 229).
[17] HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad (2/509) dan lain-lain, dishahihkan oleh al-Buushiri dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul Ahaaditsish Shahiihah” (no. 1598). Ketika mengomentari hadits ini al-Munawi dalam “Faidhul Qadiir” (2/339) berkata, “Seandainya tidak ada keutamaan menikah, kecuali hadits ini saja maka cukuplah (menunjukkan besarnya keutamaannya)”.
[18] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/339).
[19] HSR. Muslim (no. 1631).
[20] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang akan kami sebutkan nanti.
[21] Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “doa anak yang shalih”, tapi yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “… anak shaleh yang selalu mendoakannya“, artinya: semua amal kebaikan anak yang shalih pahalanya akan sampai kepada orang tuanya.
[22] Lihat kitab “Ahakaamul Janaaiz” (hal. 223).
[23] HR Abu Dawud (no. 3528), an-Nasa’i (no. 4451), at-Tirmidzi (2/287) dan Ibnu Majah (no. 2137), dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[24] Kitab “Ahakaamul Janaaiz” (hal. 216-217).
Berkongsi Info
Assalammualaikum WBKT,
Hampir sudah sebulan kita menghabiskan tahun 2012, namunpun begitu cerita-cerita sedih dan pilu terus melanda kita, pelbagai situasi yang melanda pembunuhan, perdagangan manusia dan sebagainya semakin menjadi-jadi sehingga semuanya menjadi kelam kabut dan tenggelam punca.
Pihak kerajaan, pihak berkuasa dan masyarakat sendiri dah tidak tahu dimana dan bagaimana hendak bermula mengatasi masalah yang dilihat semakin parah sama ada nak di pegang ekor atau kepalanya.
Begitulah juga usahawan-usahawan Melayu kita juga sudah tidak banyak yang dapat diperbetulkan terutama usahawan kecil dan sederhana dilihat semakin tidak terarah malah juga ia semakin mengecil dan mengempis. Perasaan, sifat dan nilai-nilai kemanusiaan dan setiakawan juga telah diketepikan. Semangat patriotisme dan volunteerism juga entah di mana. Masing-masing dengan hal masing-masing, jika ada masalahpun entah pada siapa hendak mengadu, pada siapa hendak dirujuk kerana tempat-tempat dulunya telah hilang entah kemana atau yang ada seperti sudah hilang fungsi.
Berbalik kepada Kerajaan dalam usahanya membantu rakyat juga tidak mendapat tempat di hati, kata mereka kerajaan beri kami ambil tetapi pemberiaan itu tidak terlekat atau melekat di hati rakyat terutama golongan muda, kerana yang diperolehi dari kerajaan seperti memberikan mereka ikan yang hanya untuk makan sehari tetapi mereka akan lupa sebab mereka harus berusaha, bekerja dan mencari ikan untuk 364 hari lagi. Ini ditambah dengan susahnya untuk berniaga atau payahnya mendapat peluang pekerjaan ia akan menambah lagi tekanan mereka dan rasa terhutang budi sudah dan mungkin langsung tidak ada lagi dalam diri mereka.
Bermula dari pemberian RM 100.00 bagi pelajar di sekolah menengah dan rendah, voucer buku RM 200.00 kepada penuntut kolej dan universiti sehinggalah kepada bantuan rakyat 1Malaysia (BR1M) sebanyak RM 500.00 dan terbaru kepada saham SARA1M.
Rata-rata mereka menyambut baik, tetapi sebaliknya mereka berkata bahawa kerajaan bagipun duit kita, kita yang bekerja dan kita juga bayar cukai termasuklah cukai jalan, cukai jualan dan macam-macam cukai jadi apa masalahnya jika kerajaan nak beri?
Tetapi apa yang hendak saya tekankan disini, apakah semua program seperti itu mendapat tempat di hati rakyat? Apakah mereka merasa terhutang budi kepada kerajaan atau pemerintah? Rata-rata generasi muda langsung tidak ada perasaan itu. Kata mereka sedangkan ibu bapa mereka membesarkan mereka dari tapak kaki sekecil dua jari pun mereka tidak rasa terhutang budi kerana itu tanggungjawab ibu bapa membesar dan menjaga mereka, inikan pula kerajaan yang sesekali memberikan sumbangan seperti itu kepada mereka.
Saya tidak membantah atau membangkang apa yang telah dilakukan kerajaan, tetapi saya fikir ada mekanisme yang lebih baik untuk memenangi hati rakyat. Dengan perbelanjaan besar yang telah dibuat oleh kerajaan menunjukkan kerajaan yang ada sekarang komitet untuk memberikan yang terbaik kepada rakyat cuma cara dan perlaksanaannya dengan memberi ikan kepada rakyat tidak lagi relevan pada waktu ini. Kerajaan harus memikirkan bahawa memberi pancing lebih baik kerana bukan saja rakyat mendapat faedah jangka panjang tetapi kerajaan juga memperolehi pendapatan selain membuka banyak peluang perniagaan dan pekerjaan.
Sebagai contoh, persatuan penjaja dan peniaga kecil, persatuan usahawan wanita dan beberapa persatuan usahawan lain yang keseluruhannya mempunyai lebih 1 juta. Rata-rata yang ditemu bual menyatakan rasa kecewa mereka kepada kerajaan kerana segala bantuan dan sokongan sebelum ini telah hampir ditiadakan.
Ramai dikalangan peniaga kecil menganggap mereka sebagai anak tiri kepada kerajaan sebab kata mereka, penoreh getah pun ada subsidi baja, subsidi benih dan sebagainya. Manakala nelayan juga ada subsidi beli bot, beli enjin, beli minyak dan lain-lain. Tetapi peniaga kecil apa yang ada untuk kami.
Pertelingkahan ini berlaku bilamana di pihak kerajaan pula mengatakan oh kerajaan telah mewujudkan beberapa dana melalui TEKUIN, MARA, Kewangan Mikro dan lain-lain. Tetapi berapa ramai yang layak? berapa ramai yang dah menerima? Dan pinjaman yang telah diberikan kepada mereka yang belum berniaga hanya dengan sekeping ijazah atau kertas cadangan agensi pembiaya telah memberi mereka (bukan usahawan atau peniaga kerana mereka belum pun berniaga) berdasarkan kepada kebolehan mereka membuat kertas cadangan bukan berdasarkan kepada perniagaan yang telah dibuat.
Peniaga kecil ini pada dasarnya tidak layak untuk menerima pinjaman itu, kerana mereka bukan mahu pinjaman sehingga RM5,000 atau RM 10,000 tetapi hanya perlukan sekitar RM200.00 hingga RM 500.00 sebagai modal terdesak dan menjadi sasaran untuk mereka pinjam adalah Along. Kenapa kerajaan tidak cuba menangani masalah ini? Kenapa diwujudkan sebegitu ketat syarat-syaratnya? Sebagai contoh kewangan Mikro, tidak boleh disenarai hitam (peniaga kecil yang berniaga secara haram sebab nak dapat tempat berniaga susah), tidak boleh ada parut sikitpun (cek tendang, hutang motorsikal atau kereta lambat bayar) tidak boleh dipertimbangkan. Mereka hendak 'clean' rekod kewangan seperti anak dara yang belum diusik... Hei ini meniaga modal RM 100 atau RM 200 mana mungkin ada begitu rekod kewangannya, ini seperti tak nak beri... jika itulah situasinya lebih baik tak payah di adakan kewangan yang seperti ini jika sekadar untuk menyedapkan hati.
Begitu juga dengan tempat berniaga, peniaga kecil seperti orang atau kaun Badwi (peniaga pasar malam, pasar tani dan entah pasar-pasar bergerak lain) berniaga berpindah randah tidak ada program yang membolehkan mereka mendapat tempat untuk berniaga. Kita ada agensi seperti UDA, MARA dan Perbadanan Kemajuan negeri yang antara lain tugasnya mewujudkan premis-premis perniagaan untuk peniaga mendapat tempat berniaga, tetapi banyak premis perniagaan yang dibuat oleh agensi-agensi ini kebanyakkannya tidak berjaya memberikan pulangan baik kecuali satu atau dua seperti Pertama Komplek tetapi berapa ramai peniaga Bumiputera? Tetapi banyak yang menjadi projek gajah putih kerana konsep komplek perniagaan tidak dipatuhi.
Saya tak tahu agensi ini belajar di mana dan konsultan mana yang diambil untuk membina sesuatu komplek perniagaan. Saya syer sikitlah sebab saya tak juga pandai tetapi saya belajar dulu semasa saya bekerja dengan satu syarikat jepun yang berjaya di Malaysia, kata boss saya jika nak buat shopping complek mesti lot perniagaan tidak boleh kurang daripada 150 lot dan jika lebih lagi baik dan satu lagi mesti ada beberapa komponen seperti mesti ada supermarket, mesti ada taman makan, mesti ada entertainment, mesti ada undang-undang (tak boleh suka tutup, tak boleh buka ikut dan tutup ikut suka peniaga) dan ada lagilah.
Tetapi yang saya nak syer ialah taman makan mestilah di atas, sebab katanya jika taman makan di bawah, pelanggan akan makan dulu dan jika perutnya dah kenyang dia tak ada nafsu nak jalan-jalan atau nak berbelanja di kedai-kedai lain. Tetapi saya lihat di Larkin Mall di Johor Bahru taman makannya di bawah dan di depan pintu masuk Mall itu, jadi apakah kesan kepada peniaga di dalam Mall tersebut? Tuan-tuan dan puan-puan sendiri boleh melawatnya jika ke Johor Bahru.
Begitu juga di Medan Mara, ada peniaga yang menyewa premis di sana dah berpuluh tahun sejak KPUN YB Dato' Nazri Aziz menterinya masih ada lagi di sana, seperti lot-lot perniagaan dah jadi hak milik mereka cuma MARA tak tukar nama ke atas nama mereka saje. Jika inilah situasinya, peniaga-peniaga lain terpaksa berniaga secara haram kerana peluang untuk mereka telah dinafikan oleh peniaga-peniaga ini.
Jika hendak dihuraikan memang terlalu banyak yang kerajaan perlu laksanakan bagi memenangi hati rakyat. Semua itu ada jalan penyelsaian, namun siapalah kita kerana kita ini ibarat melukut di tepi gantang adapun tidak menambah tak adapun tidak mengurangkan.
Kita penat dan letih berfikir untuk membantu kerajaan bagaimana untuk menyelesaikan masalah serta kemelut yang dihadapi dengan rakyat, tetapi cadangan kita bertukar tangan dan diberikan kepada individu yang memikirkan keuntungan temolok mereka dan kroni mereka saja.
Di kalangan ahli dan usahawan The RIGHTS sendiri banyak ide yang boleh membantu kerajaan, tetapi adakah suara dan cadangan kami akan didengar oleh YAB Perdana Menteri contohnya...entahlah dengan 1 juta usawahan kecil ini merasa kecewa dan kekecewaan mereka dikongsi pula dengan isteri atau suami telah menjadi 2 juta suara, jika setiap usahawan purata mempunyai seorang anak yang boleh mengundi ada 3 juta suara dan peniaga akan sentiasa berkomunikasi dengan pelanggan atau rakan dan jika mereka memberikan pandangan negatif mereka terhadap kerajaan kepada 5 orang sahaja, telah ada 8 juta suara...
Jadi fikir-fikirkanlah...
Risau sesangat...
Ikhlas, Wassalam
Haris Fadzlah Mat Ali
The RIGHTS
Friday, February 3, 2012
4 Kategori manusia berdasar percakapannya
4 Kategori manusia berdasar percakapannya...
INDIVIDU berkualiti dapat dinilai daripada kemampuannya menjaga lisan iaitu lidahnya. Mereka yang beriman pasti akan menjaga tutur bicaranya daripada mengeluarkan perkataan buruk.Dalam hal ini, Rasulullah pernah bersabda yang bermaksud: “Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam” (Hadis riwayat Bukhari &Muslim).
Baginda adalah contoh manusia yang sangat menjaga tutur katanya. Rasulullah akan berbicara atau berkhutbah di hadapan orang ramai secara berakhlak dan baginda juga adalah individu yang sangat jarang berbicara.
Namun, sekali berbica ra, isi bicaranya pasti ada kebenarannya. Nilai ucapan nya sangat tinggi seolah-olah mutiara yang indah dan bermutu. Ucapan baginda menembus hati, menggugah kesedaran, membekas ke jiwa serta dapat mengubah perilaku orang dengan izin Allah.
Atas sebab itu, Rasulullah digelar ‘Al-Amin’ kerana sejak kecilnya lagi tidak pernah berdusta. Justeru, jika kita ingin tahu kualiti seseorang itu, lihat saja apa yang sering dikeluarkan daripada mulutnya.
Manusia dapat dikategorikan kualitinya kepada empat berdasarkan kualiti tutur bicaranya.
Pertama, orang yang berkualiti tinggi. Jika mereka berbicara, isinya sarat dengan hikmah, idea, gagasan, ilmu, zikir dan penyelesaian.
Orang seperti ini bicara nya bermanfaat pada dirinya sendiri dan juga bagi orang lain yang mendengarnya. Malah, apabila diajak berbual pastinya ada manfaat ilmu. Bicara mereka bermotivasi dan berpandangan positif dalam setiap perkara yang diutarakan.
Kedua, orang yang biasa-biasa saja. Ciri orang seperti ini adalah mereka sibuk menceritakan peristiwa contohnya melihat kemalangan jalan raya atau rompakan, dia juga pasti akan menceritakannya seolah-olah diri mereka berada di tempat itu.
Jika melalui semua bicara itu orang lain dapat mengambil hikmah maka tidak rugi, tapi jika sekadar memenatkan mulut sendiri tanpa manfaat tentu ia sia-sia.
Ketiga, orang rendah kualiti diri. Cirinya jika berbicara isinya hanya mengeluh, mencela dan menghina. Apa saja akan jadi bahan keluhannya. Contohnya, mereka sering mengeluh banyak masalah.
Mereka juga tidak tahu menghargai sesuatu misal nya, Jika dihidangkan makanan akan keluar keluhannya seperti ‘kenapa lauk ini kurang sedap’, namun begitu habis juga dimakannya.
Hari-harinya dipenuhi de ngan bersungut seolah-olah segala yang berlaku penuh kekurangan. Alang kah rugi nya hidup orang kategori seperti ini kerana seolah-olah tidak dapat membezakan nikmat dan musibah.
Keempat, orang yang cetek fikirannya iaitu mereka yang bicaranya hanya mengenai kehebatan dirinya atau kebaikan diri nya sedangkan hidup adalah peng abdian diri kepada Allah.
Mengapa mereka perlu bangga diri kerana semua itu kurniakan Allah. Golongan seperti itu sering dilihat menonjol dan mendominasi. Jika ada yang lebih baik darinya hatinya berasa tidak senang dan berharap orang itu segera jatuh.
Oleh itu berhati-hati apabila berbicara. Jagalah tutur percakapan kita dan kurang kanlah berkata-kata kerana ia akan mengura ngi kesalahan kata kita. Jaga lidah sebaik mungkin kerana ia adalah amanah Allah s.w.t.
sumber:
Pondok Pasir Tumboh
Institute Of Islamic Study, Al-Madrasah Ad-Diniah Al-Bakriah Pondok Terusan Pasir Tumboh, 16150 Kota Bharu, Kelantan Malaysia
Subscribe to:
Posts (Atom)