Tuesday, September 9, 2014

MEMIMPIN DENGAN EMPATI



ARTIKEL 2

MEMIMPIN DENGAN EMPATI
Dr (Cand). Risnaldi Ibrahim, MM
Dr. Syafrimen, M.Ed

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat, dan dia banyak menyebut nama Allah (Q.S. al-Ahzab; 21).

Setiap kamu adalah pemimpin, setiap kepemimpinan akan diminta pertanggung jawabanya (Al-Hadist).
Sifat empati merupakan kemampuan seseorang untuk menyadari perasaan, kepentingan, kehendak, masalah atau kesusahan yang dirasakan oleh orang lain. Individu yang memiliki sifat empati tersebut senantiasa dapat mamahami dan menyelami perasaan orang lain dari perspektif mereka (Corey & Corey 1997; Rogers dlm Corey, Corey & Callahan 1998). Satu lagi kelebihan individu yang memiliki sifat empati adalah mampu mengembangkan potensi orang lain, selalu berkeinginan untuk memenuhi kepentingan orang lain, dan mampu memahami perasaan dan permasalahan kelompok serta pemegang kekuasaan dalam sebuah organisasi.

Stein dan Book dalam bukunya Emotional Intelligence and Your Success (2000) memberikan pandangan tentang empati iaitu kemampuan untuk menyadari, memahami dan menghargai perasaan serta fikiran orang lain. Dalam laras bahasa yang lain beliau juga mengemukakan, empati adalah “menyelaraskan diri” perhatian terhadap apa, bagaimana, serta memahami latar belakang perasaan serta fikiran orang lain, sebagaimana orang itu merasakan dan memikirkannya. Menurut beliau individu yang mempunyai sifat empati yang tinggi mampu memahami orang lain daripada persepektif individu itu, sangat peduli serta memperlihatkan keinginan dan perhatian yang tinggi terhadap orang tersebut.

Khairul ummah et al. (2003) menggambarkan sifat empati dengan istilah “peka, peduli, positif, dan partisipatif”. Sifat peka, peduli dan partisipatif menggambarkan tentang perhatian seseorang terhadap perubahan dan keadaan emosi orang lain. Seseorang yang memiliki kepekaan yang tinggi dapat merasakan kesulitan orang lain, seolah-olah dia sendiri yang merasakanya. Individu ini mampu memberikan solusi terbaik kepada orang yang menghadapi masalah. Sedangkan sifat positif menggambarkan tentang kemampuan seseorang untuk selalu berusaha berbicara secara positif dan menghindari penggunaan kalimat-kalimat negatif.

Tugas memimpin merupakan tugas yang sangat mulia, bagaimanapun kemuliaan seorang pemimpin itu tergantung kepada sikap dan komitmen yang ditunjukkannya. Seorang pemimpin mestilah mampu menjadikan dirinya sebagai contoh yang baik kepada masyarakat (umat), selalu melakukan rekfleksi terhadap kepemimpinanya, berakhlak mulia dan memiliki sifat empati yang tinggi terhadap masyarakat yang dipimpin (Parson & Stephenshon 2005). Dalam Islam tugas sebagai pemimpin merupakan perpanjangan tangan kepemimpinan yang dilakukan oleh Rasullah s.aw. Justeru, kunci keberhasilan Rasulullah dalam memimpin adalah menjadikan dirinya sebagai contoh utama kepada umat yang dipimpin. Kata kunci keberhasilan kepemimpinan Raslullah diabadikan sehingga hari ini [Jujur, Amanah, Berani menyampaikan kebenaran walaupun nyawa taruhanya, dan Cerdas dalam memimpin]. Hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa diri Rasulullah merupakan pemimpin ulung dunia yang tidak ada tandinganya sehingga ke hari ini (baca 100 tokoh paling berpengaruh di dunia). Ketauladalan rasulullah tersebut diabadikan dalam Q.S. al-Ahzab; 21 seperti berikut ini:

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat, dan dia banyak menyebut nama Allah (Q.S. al-Ahzab; 21).

Skovholt dan Rozario (2005) menyatakan pemimpin yang memiliki sifat empati dan sosial skill yang baik, lebih disenangi oleh masyarakatnya ketimbang pemimpin yang tidak memiliki sifat itu. Menurut mereka pemimpin seperti itu lebih mudah berinteraksi dan memahami masyarakat, sehingga masyarakat merasa lebih nyaman di bawah kepemimpinanya. Sejalan dengan pendapat Skovholt dan Rozario, Ary Ginanjar (2005) juga menyatakan bahwa sifat empati sangat penting dalam meraih kesuksesan, baik dalam dunia bisnis apalagi birokrasi kepemimpinan. Menurut Ary Ginanjar permasalahan kronis yang dihadapi oleh pemimpin hari ini adalah masalah komitmen, empati, integritas, motivasi, kreativitas dan melanggengkan semangat kerja. Ary Ginanjar juga menyatakan, membina keterampilan teknis adalah lebih mudah ketimbang keterampilan empati tersebut, karena keterampilan ini berkaitan dengan sifat-sifat internal seseorang yang seyogyanya memang telah dibina semenjak dari kecil, bahkan sebagian teori psikologi mengatakan sifat empati sepatutnya dibina semenjak manusia masih di dalam kandungan.

Beberapa pakar psikologi berpandangan sifat empati bisa dibina (Bagsaw 2000; Dulewicz & Higghs 2004; Matthews, Roberts & Zeidner 2003; Patricia & Finian 2003). Pembinaan sifat empati berbeda dengan pembinaan kecerdasan intelektual (Goleman 1999). Goleman berpandangan bahwa kemampuan kognitif individu relatif tidak berubah, berbeda dengan sifat empati yang bisa dipelajari dan ditingkatkan sepanjang kehidupan seseorang. Bagaimanapun, persoalannya adalah“Apakah bentuk latihan yang sesuai untuk membina sifat empati itu?”. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa seseorang ataupun pemimpin yang terbiasa dengan kehidupan serba berkecukupan, kebiasaanya kurang sensitif dengan lingkungan sekelilingya, ini karena dirinya kurang merasakan kesusahan, kesengsaraan dan kepahitan hidup seperti mana yang dialami oleh orang-orang yang susah. Menurut Ary Ginanjar (2005) seseorang perlu melakukan latihan secara berkesinambungan (continuosly improvement) sehingga dapat membentuk satu keperibadian yang mempunyai sifat empati yang tinggi.

Noriah (2004) menggambarkan bahwa terdapat sebagian pemimpin yang bersikap kurang beretika dalam kepemimpinanya. Tindakan seperti ini tidak hanya memburukkan peribadi pemimpin tersebut, tetapi juga memberikan imej yang tidak baik kepada pemimpin-pemimpin yang sesungguhnya memiliki komitmen yang jernih dalam memimpin. Namun masyarakat telah terlanjur berasumsi dan salah dalam menilai, akibat ulah sikap sebagian pemimpin seperti itu. Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah mereka tidak lagi menghayati tugas memimpin yang sebenarnya? Bukankah pemimpin-pemimpin itu seharusnya berempati terhadap masyarakat dan tugas kepemimpinanya? Goleman dalam Noriah (2005) menyatakan bahawa;
...cognitive intelligence may provide some individuals entry into particulas (work) setting, however emotional intelligence “empathy” could play a vital role in determining how successful they will be after entering the work setting .

Hasil penelitian di luar dan di dalam negri menunjukkan terdapat kepentingan empati di samping kecerdasan intelektual (IQ) di kalangan pemimpin (Ary Ginanjar 2003; Goleman 1995, 1999; Mohd Najib 2000; Noriah et al 2001; Noriah dan Siti Rahayah 2003; Noriah, Syed Najmuddin & Syafrimen 2003; Noriah et al. 2004; Skovholt & D'rozario 2000; Syafrimen 2004; Syed Najmuddin 2005; Wan Ashibah 2004; Zuria & Noriah 2003). Untuk itu, penting bagi para pemimpin memiliki keterampilan tersebut. Latihan berkaitan dengan empati perlu diberikan kepada calon-calon pemimpin karena sifat ini merupakan basic yang membolehkan mereka dapat memahami apakah yang sedang dirasakan oleh orang lain.

Penelitian Syafrimen menunjukkan terdapat beberapa cara untuk melatih sifat empati dalam diri seseorang. Pertama, melatih sifat empati dengan cara selalu melatih diri untuk memberikan perhatian terhadap kepentingan orang lain. Perhatian terhadap keadaan orang lain merupakan basic bagi seseorang untuk dapat memahami orang lain. Mustahil bagi seseorang dapat merasakan apa yang diarasakan orang lain, sekiranya dia tidak dapat memberikan perhatian terhadap orang tersebut. Perhatian bukan hanya sekedar dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, tetapi coba melakukan sesuatu untuk membantu orang tersebut dari permasalahan yang sedang dihadapi sesuai dengan kemampuanya. Individu yang selalu memberikan perhatian terhadap orang lain, berusaha mencarikan jalan penyelesaian walaupun kadang-kadang perlu mengikut sertakan orang-orang di luar dirinya. Penelitian Syafrimen ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Daniel Goleman (1999) yang mendapati seseorang yang mempunyai sifat perhatian dalam dirinya mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sosial, dan dapat memahami dengan tepat situasi yang terjadi pada lingkungan tersebut. Individu ini tidak berhenti sampai di sini, malah coba melihat peluang apakah yang bisa diberikan terhadap lingkungan sekiranya ada sesuatu yang perlu dibetulkan. Kalau dikaitkan dengan diri seorang pemimpin, perhatian terhadap keadaan orang lain sebenarnya merupakan basic yang sangat penting untuk menjadikan pemimpin tersebut sebagai seorang pemimpin yang baik (Chernis 1998; Corey, Corey & Callahan 2003; Goleman 1999; Katzenbach 2000; Muhibbin Syah 1995; Tajudin Ninggal 2003; Shahbani 2005).

Taufiq Pasiak (2007) juga menyatakan seseorang yang selalu perhatian terhadap orang lain, menjadikan hatinya lebih baik dan lebih sensitif dengan keadaan orang lain itu. Dari segi kesehatan juga didapati individu seperti ini lebih sehat ketimbang individu yang kurang sensitif dengan keadaan orang lain, individu yang hanya sibuk memikirkan diri sendiri dan tidak peduli dengan lingkungan. Kenapa hal ini bisa terjadi? Taufiq menyatakan individu yang sensitif dengan keadaan orang lain selalu memperbaiki dirinya terlebih dahulu sebelum mengulurkan bantuanya kepada orang lain. Individu seperti ini dilihat sebagai seorang yang mempunyai nilai tinggi oleh lingkunganya. Nilai tersebut merupakan obat yang paling mujarab untuk meningkatkan kekebalan pada tubuh seseorang. Keadaan inilah yang mempengaruhi kesehatan mereka. Realita kehidupan memang membuktikan, sekiranya seorang pemimpin merasa tidak bernilai ataupun tidak berguna di tengah-tengah masyarakatnya, bisa menimbulkan stres pada dirinya. Apabila selalu dalam keadaan stres maka penyakit lain mudah menyerang (Taufiq Pasiak 2007; Zinah Ahmad & Hamdan Mohd. Ali 2006).

Jika dikaitkan dengan pandangan Islam perhatia terhadap keadaan orang lain (empati) memang dinilai sebagai perbuatan yang sangat baik dan bisa mendatangkan pertolongan Sang Khaliq terhadap individu yang memiliki sifat tersebut. Seperti dinyatakan dalam al-Qur’an; Q.S Muhammad; 7:
Sesiapa yang menolong Agama Allah maka Allah akan menolong mereka (Q.S Muhammad; 7).
Orang-orang yang menolong Agama Allah yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah termasuk orang yang perhatian terhadap kepentingan hamba-hamba Allah, yang bertugas sebagai khalifah di muka bumi ini. Jikalau Allah menghendaki, sesuatu yang tidak terfikirkan oleh akal kita bisa saja terjadi, kerana Dia yang Maha tahu, dan Dia Bisa melakukan sesuatu berdasarkan kehendaknya, yang kemungkinan tidak terjangkau oleh akal fikiran manusia.

Kedua, melatih sifat empati dengan cara selalu melatih diri untuk bertoleransi dan merendahkan ego dengan orang lain. Individu yang selalu melihat dirinya lebih daripada orang lain, ataupun sering dikatakan sebagai individu yang egois, dalam realita kehidupan memang sering dilihat kurang sensitif ataupun kurang peka dengan keadaan orang lain. Individu seperti ini biasanya mempunyai hati yang keras, berat bagi dirinya untuk berada pada posisi sejajar dengan orang lain, apa lagi pada posisi di bawah orang lain. Dia merasakan dirinya lebih hebat, lebih berkemampuan ketimbang orang lain. Keadaan ini yang menjadikan dirinya sulit memahami perasaan orang lain. Ciri-ciri individu yang mudah bertoleransi dan merendahkan ego selalunya mudah memberikan penghargaan kepada orang lain, memberikan perhatian yang tulus, mau mendengarkan orang lain apabila bercerita tentang dirinya, senantiasa membuat orang lain penting di hadapanya, mudah meminta maaf apabila merasa bersalah, ringan lidahnya untuk mengucapkan terima kasih kepada orang lain, mudah memberikan pujian kepada orang lain, dan selalu berusaha memahami perasaan orang lain (Ary Ginanjar 2005). Individu yang memiliki ciri-ciri ini tentunya sangat mudah memahami orang lain, kerana dia melihat orang lain sangat berharga di hadapannya, menyayangi orang lain sama seperti menyayangi diri sendiri.

Individu yang mudah bertoleransi dan merendahkan ego kebiasaanya memiliki prinsip selalu memberi dan mengawali (Ary Ginanjar 2005). Prinsip memberi dan mengawali merupakan prinsip Bismillah. Kalau diperhatikan dalam Al-Qur’an semua awal-awal surah diawali dengan bismillahirrahmanirrahiim. Kalimat ini bermaksud “dengan nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang” Pengasih dan penyayangnya Allah tidak ada yang dapat menandingi, Allah tidak hanya mengasihi dan menyayangi umat yang patuh terhadap Agamanya, tetapi Allah mengasihi semua makhluk ciptaanya. Dengan perkataan lain tidak pilih kasih. Kasih dan sayang Allah adalah kasih dan sayang yang tulus, ikhlas yang tiada tandingnya, dan tidak pernah meminta balasan kasih sayang yang diberikan. Inilah yang dimaksudkan dengan prinsp Bismillah iatu prinsip selalu memberi dan memulai. Disadari ataupun tidak Allah telah menjanjikan bahawa Dia akan membalas setiap perbuatan yang dilakukan oleh hamba-hambanya, seperti dinyatakan berikut ini:
... maka barangsiapa yang melakukan kebaikan walaupun sebesar biji Zarah, Ia pasti akan melihatnya! Dan barang siapa melakukan kejahatan walaupun sebesar biji Zarah, Ia juga pasti akan melihatnya (QS. al-Zalzalah: 7-8).

Cara ketiga yang dihasilkan oleh penelitian Syafrimen untuk pembinaan sifat empati adalah dengan cara melatih diri selalu ”fleksibel terhadap orang lain”, iaitu kesediaan seseorang untuk menerima orang lain dalam pelbagai keadaan. Dalam istilah lain sering juga disebut menerima orang lain tanpa syarat. Dalam realita kehidupan memang dapat dibuktikan bahwa seseorang yang dapat menerima orang lain tanpa syarat, sangat mudah untuk memahami keadaan orang lain, kerana individu seperti ini melihat orang lain bukan menurut ukuran dirinya tetapi dia coba memahami orang lain berdasarkan keadaan orang tersebut. Inilah yang menyebabkan dirinya sangat mudah untuk memahami orang lain. Ini juga sejalan dengan pandangan Daniel Goleman (1999) yang menyatakan individu yang memiliki sifat fleksibel berkemampuan untuk menditeksi perasaan orang lain dari perspektif orang tersebut. Menunjukkan keinginan yang mendalam terhadap kehendak dan masalah yang dihadapi oleh orang lain. Dirinya sangat sensitif terhadap tingkah laku yang ditunjukkan oleh seseorang, dan berminat mendengarkan pelbagai masalah yang diceritakan seseorang kepadanya.

Seperti yang disentuh sebelum ini, termasuk salah satu ciri seseorang yang memiliki sifat empati adalah mampu mengembangkan potensi orang lain. Pemimpin memang seharusnya memiliki sifat ini, karena banyak potensi yang harus diperhatikan dan dikembangkannya. Pemimpin yang memiliki sifat ini berprinsip bahwa keberhasilan memimpin dapat dilihat sejauhmana dirinya dapat mengakomodir ataupun mengambangkan potensi-potensi yang ada di sekelilingya. Dengan perkataan lain, pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang dapat membantu orang lain berhasil selama dalam proses kepemimpinanya. Inilah yang disebut dalam Islam sebagai konsep “Rahmatan Lil ’Aalamin” iaitu prinsip keberhasilan untuk semua orang. Pemimpin yang memiliki prinsip ini, merasa tidak nyaman sekiranya orang-orang di sekelilingnya tidak dapat dia bantu untuk memperolehi keberhasilan secara bersama-sama. Inilah yang dimaksudkan oleh Q.S. al-Qashas: 84 yang bermaksud;
Sesiapa yang membawa kebaikan, pahalanya adalah lebih baik daripada kebaikan yang dia lakukan...(QS. al-Qashas: 84)

Syafrimen menyatakan, beberapa langkah untuk mengembang potensi orang lain adalah: pertama, mengembangkan potensi orang lain dengan cara memberikan peluang mereka. Memberikan peluang kepada orang lain secara tidak langsung telah memberikan keyakinan kepada mereka untuk membuktikan kemampuan yang dia miliki. Individu yang diberikan peluang untuk bertanggungjawab terhadap suatu pekerjaan, cara penerimaan dan cara mereka melaksanakan pekerjaan tersebut akan berbeda daripada mereka bekerja di bawah pantauan orang lain. Secara tidak langsung cara seperti ini merupakan kaedah untuk mengembangkan potensi orang lain. Menurut Gray (2001) memberikan peluang kepada orang lain untuk mencoba sesuatu, dengan tujuan mengembangkan potensi diri mereka sebenarnya merupakan tanggungjawab bagi setiap pemimpin. Menurut beliau apabila seorang pemimpin merasakan bahwa mengembangkan potensi orang lain merupakan tanggungjawab, maka dirinya akan merasa bangga dan bahagia melihat orang lain berhasil.

Inilah salah satu kelebihan pemimpin yang memiliki sifat empati, yaitu dirinya bahagia melihat keberhasilan orang lain. Dia merasakan kebahagiaan orang yang berhasil itu sebagai kebahagiaan dirinya sendiri, karena pemimpin ini melihat orang lain adalah bahagian dari dirinya yang mesti dibantu sebagaimana membantu dirinya sendiri (Gray 2001, Al-hadits). Menurut Gray keberhasilan peribadi adalah rasa bahagia yang dimiliki oleh seseorang, dan berhak dalam proses melaksanakan sesuatu hal yang ingin dilakukan. Berhak dalam proses melakukan hal yang ingin dilakukan bukan bermakna hidup tanpa aturan, maknanya di sini adalah bertindak berdasarkan prinsip kebenaran. Justeru, apabila seseorang memberikan peluang kepada orang lain untuk membantu mengembangkan potensi dirinya sebenarnya dia telah memberikan kebahagiaan kepada dirinya sendiri, kerana ini merupakan fitrah manusia (Al-Qur’an).

Selanjutnya mengembangkan potensi orang lain dengan cara “memberikan kesadaran”. Al-Ghazali mengelompokan manusia kepada empat kelompok besar, salah satunya adalah ”kelompok orang yang tahu, tetapi dia tidak tahu bahwa dirinya tahu”. Dalam relalita kehidupan memang sering dilihat kelompok orang seperti ini. Orang seperti ini memerlukan orang lain untuk mengingatkan mereka, karena dia tidak menyadari bahwa dirinya mempunyai potensi untuk berkembang lebih baik dari apa yang didapatkan sekarang. Menurut Goleman (1999) individu seperti ini dikaitkan dengan individu yang rendah kesadaran terhadap diri sendiri ataupun kurang memiliki kreativitas untuk menilai kekuatan dan kelemahan dirinya. Justeru, individu seperti ini membutuhkan orang lain untuk memberikan kesadaran supaya dia dapat melihat kembali potensi yang dimilikinya.

Dalam Islam kaedah ini menjadi unggulan Rasulullah saw untuk membina umatnya sama-sama menuju keberhasilan. Seperti dinyatakan dalam Q.S. Ali-Imran: 104:
Dan hendaklah diatara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. Ali Imran: 104).

Menyeru kepada kebajikan termasuk memberikan peringatan kepada orang-orang yang tidak dapat melihat potensi dirinya dengan baik. Individu yang menggunakan pendektan ini dikaitkan dengan keberuntungan. Keberuntungan dimaksudkan adalah keberhasilan individu tersebut mengingatkan kembali individu yang selama ini kurang melihat potensi yang dimiliki dalam dirinya. Langkah-langkah yang sampaikan dalam penulisan ini sejalan dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh orang-orang yang berhasil membantu mengembangkan potensi orang lain.

Rujukan
  1. Corey, M. S. & Corey, G. 1997. Groups: Process and practice. Ed. Ke-5. Pcific Grove: Brooks/Cole Publishing Company.
  2. Corey, Corey dan Callanan. 2003. Issue and ethics in helping profession, 5th Brookes/Cole Pub. Co. Pacific Grove.
  3. Dulewicz,V.& Higgs, M. 2004. Can emotional intelligence be developed? Journal of Human Ressource management. 15:95-111.
  4. Goleman. D. 1996. Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.
  5. Goleman. D. 1999. Working with emotional intelligence. New York: Bantam Books.
  6. Trikantojo Widodo. 1999. Jakarta: PT.Gramedia Utama.
  7. Goleman. D. 1999. Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi. Terj. Alex.
  8. Goleman. D., Boyatzis, R. & Mckee, A. 2002. The new leaders: Transforming the art of leadership into the science of results. London: A Little, Brown Book.
  9. Ginanjar, A. A., 2005. Rahasia sukses membangkitkan ESQ power: sebuah inner journey melalui al-ihsan. Jakarta: Arga.
  10. Ginanjar, A. A., 2003. Rahasia sukses membangkitkan ESQ power: sebuah inner journey melalui al-ihsan. Jakarta: Arga.
  11. Goleman. D. 1995. Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.
  12. Khadim al-Haramain Asy Syarifain. Al-Qur’an dan terjemahnya. Madinah Al-Munawwarah: Perpustakaan Su‘udi.
  13. Noriah, M.I., Zuria,M, Siti Rahayah, A. dan Manisah M.A. 2003. Hubungan antara Tanggungjawab Kepada Diri, Pelajaran, Pelajar dan Masyarakat di Kalangan Guru-guru. Prosiding seminar kebangsaan profession pergurun 2003. Bangi: Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.
  14. Noriah, M.I., Zuria,M, Siti Rahayah.A., dan Manisah, M.A. 2002. Hubungan antara tanggungjawab kepada diri, pelajaran, pelajar dan masyarakat di kalangan guru-guru. Jurnal Pendidikan. Jilid 24: 548-555.
  15. Noriah M.I., Zuria, M. 2003. Kepintaran Emosi di Kalangan Pekerja di Malaysia. Prosiding IRPA- RMK-8 Kategori EAR. Jilid 1: 184-187­­­­­­­­­­­­.
  16. Noriah, M.I., Syed Najmuddin, S.H. dan Syafrimen. 2004. Guru dan kepintaran emosi: Implikasi ke atas kebolehan guru dalam menangani masalah sosial pelajar. Prosiding seminar kebangsaan ke-3 psikologi dan masyarakat. Bangi: Pusat penerbitan dan teknologi pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.
  17. Noriah, M.I. 2005. Pengurusan kecerdasan emosi (EQ) dan pembangunan kendiri pelajar. Prosiding seminar kepengetuaan kebangsaan ke-4. Kuala Lumpur; Universiti Malaya.
  18. Parson, M & Stephenson, M. 2005. Developing reflective in student teachers: collaboration and critical partnerships.
  19. Khairul Ummah et al. 2003. Kecerdasan Miliyuner. Bandung: Aha.
  20. Taufiq Pasiak. 2007. Brain management for self improvement. Bandung: P.T. Mizan.


No comments: