ARTIKEL 2
MEMIMPIN DENGAN EMPATI
Dr (Cand). Risnaldi Ibrahim, MM
Dr. Syafrimen, M.Ed
Sesungguhnya telah ada pada diri
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang
mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat, dan dia banyak menyebut nama
Allah (Q.S. al-Ahzab; 21).
Setiap kamu adalah pemimpin,
setiap kepemimpinan akan diminta pertanggung jawabanya (Al-Hadist).
Sifat empati merupakan kemampuan
seseorang untuk menyadari perasaan, kepentingan, kehendak, masalah atau
kesusahan yang dirasakan oleh orang lain. Individu yang memiliki sifat empati
tersebut senantiasa dapat mamahami dan menyelami perasaan orang lain dari
perspektif mereka (Corey & Corey 1997; Rogers dlm Corey, Corey &
Callahan 1998). Satu lagi kelebihan individu yang memiliki sifat empati adalah
mampu mengembangkan potensi orang lain, selalu berkeinginan untuk memenuhi
kepentingan orang lain, dan mampu memahami perasaan dan permasalahan kelompok
serta pemegang kekuasaan dalam sebuah organisasi.
Stein dan Book dalam bukunya
Emotional Intelligence and Your Success (2000) memberikan pandangan tentang
empati iaitu kemampuan untuk menyadari, memahami dan menghargai perasaan serta
fikiran orang lain. Dalam laras bahasa yang lain beliau juga mengemukakan,
empati adalah “menyelaraskan diri” perhatian terhadap apa, bagaimana, serta
memahami latar belakang perasaan serta fikiran orang lain, sebagaimana orang
itu merasakan dan memikirkannya. Menurut beliau individu yang mempunyai sifat
empati yang tinggi mampu memahami orang lain daripada persepektif individu itu,
sangat peduli serta memperlihatkan keinginan dan perhatian yang tinggi terhadap
orang tersebut.
Khairul ummah et al. (2003)
menggambarkan sifat empati dengan istilah “peka, peduli, positif, dan
partisipatif”. Sifat peka, peduli dan partisipatif menggambarkan tentang
perhatian seseorang terhadap perubahan dan keadaan emosi orang lain. Seseorang
yang memiliki kepekaan yang tinggi dapat merasakan kesulitan orang lain,
seolah-olah dia sendiri yang merasakanya. Individu ini mampu memberikan solusi
terbaik kepada orang yang menghadapi masalah. Sedangkan sifat positif
menggambarkan tentang kemampuan seseorang untuk selalu berusaha berbicara
secara positif dan menghindari penggunaan kalimat-kalimat negatif.
Tugas memimpin merupakan tugas
yang sangat mulia, bagaimanapun kemuliaan seorang pemimpin itu tergantung
kepada sikap dan komitmen yang ditunjukkannya. Seorang pemimpin mestilah mampu
menjadikan dirinya sebagai contoh yang baik kepada masyarakat (umat), selalu
melakukan rekfleksi terhadap kepemimpinanya, berakhlak mulia dan memiliki sifat
empati yang tinggi terhadap masyarakat yang dipimpin (Parson & Stephenshon
2005). Dalam Islam tugas sebagai pemimpin merupakan perpanjangan tangan
kepemimpinan yang dilakukan oleh Rasullah s.aw. Justeru, kunci keberhasilan
Rasulullah dalam memimpin adalah menjadikan dirinya sebagai contoh utama kepada
umat yang dipimpin. Kata kunci keberhasilan kepemimpinan Raslullah diabadikan
sehingga hari ini [Jujur, Amanah, Berani menyampaikan kebenaran walaupun nyawa
taruhanya, dan Cerdas dalam memimpin]. Hasil penelitian terkini menunjukkan
bahwa diri Rasulullah merupakan pemimpin ulung dunia yang tidak ada tandinganya
sehingga ke hari ini (baca 100 tokoh paling berpengaruh di dunia). Ketauladalan
rasulullah tersebut diabadikan dalam Q.S. al-Ahzab; 21 seperti berikut ini:
Sesungguhnya telah ada pada diri
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang
mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat, dan dia banyak menyebut nama
Allah (Q.S. al-Ahzab; 21).
Skovholt dan Rozario (2005)
menyatakan pemimpin yang memiliki sifat empati dan sosial skill yang baik,
lebih disenangi oleh masyarakatnya ketimbang pemimpin yang tidak memiliki sifat
itu. Menurut mereka pemimpin seperti itu lebih mudah berinteraksi dan memahami
masyarakat, sehingga masyarakat merasa lebih nyaman di bawah kepemimpinanya.
Sejalan dengan pendapat Skovholt dan Rozario, Ary Ginanjar (2005) juga
menyatakan bahwa sifat empati sangat penting dalam meraih kesuksesan, baik
dalam dunia bisnis apalagi birokrasi kepemimpinan. Menurut Ary Ginanjar
permasalahan kronis yang dihadapi oleh pemimpin hari ini adalah masalah
komitmen, empati, integritas, motivasi, kreativitas dan melanggengkan semangat
kerja. Ary Ginanjar juga menyatakan, membina keterampilan teknis adalah lebih mudah
ketimbang keterampilan empati tersebut, karena keterampilan ini berkaitan
dengan sifat-sifat internal seseorang yang seyogyanya memang telah dibina
semenjak dari kecil, bahkan sebagian teori psikologi mengatakan sifat empati
sepatutnya dibina semenjak manusia masih di dalam kandungan.
Beberapa pakar psikologi
berpandangan sifat empati bisa dibina (Bagsaw 2000; Dulewicz & Higghs 2004;
Matthews, Roberts & Zeidner 2003; Patricia & Finian 2003). Pembinaan
sifat empati berbeda dengan pembinaan kecerdasan intelektual (Goleman 1999).
Goleman berpandangan bahwa kemampuan kognitif individu relatif tidak berubah,
berbeda dengan sifat empati yang bisa dipelajari dan ditingkatkan sepanjang
kehidupan seseorang. Bagaimanapun, persoalannya adalah“Apakah bentuk latihan
yang sesuai untuk membina sifat empati itu?”. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa seseorang ataupun pemimpin yang terbiasa dengan kehidupan serba
berkecukupan, kebiasaanya kurang sensitif dengan lingkungan sekelilingya, ini
karena dirinya kurang merasakan kesusahan, kesengsaraan dan kepahitan hidup
seperti mana yang dialami oleh orang-orang yang susah. Menurut Ary Ginanjar
(2005) seseorang perlu melakukan latihan secara berkesinambungan (continuosly
improvement) sehingga dapat membentuk satu keperibadian yang mempunyai sifat
empati yang tinggi.
Noriah (2004) menggambarkan bahwa
terdapat sebagian pemimpin yang bersikap kurang beretika dalam kepemimpinanya.
Tindakan seperti ini tidak hanya memburukkan peribadi pemimpin tersebut, tetapi
juga memberikan imej yang tidak baik kepada pemimpin-pemimpin yang sesungguhnya
memiliki komitmen yang jernih dalam memimpin. Namun masyarakat telah terlanjur
berasumsi dan salah dalam menilai, akibat ulah sikap sebagian pemimpin seperti
itu. Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah mereka tidak lagi menghayati tugas
memimpin yang sebenarnya? Bukankah pemimpin-pemimpin itu seharusnya berempati
terhadap masyarakat dan tugas kepemimpinanya? Goleman dalam Noriah (2005)
menyatakan bahawa;
...cognitive intelligence may
provide some individuals entry into particulas (work) setting, however
emotional intelligence “empathy” could play a vital role in determining how
successful they will be after entering the work setting .
Hasil penelitian di luar dan di
dalam negri menunjukkan terdapat kepentingan empati di samping kecerdasan
intelektual (IQ) di kalangan pemimpin (Ary Ginanjar 2003; Goleman 1995, 1999;
Mohd Najib 2000; Noriah et al 2001; Noriah dan Siti Rahayah 2003; Noriah, Syed
Najmuddin & Syafrimen 2003; Noriah et al. 2004; Skovholt & D'rozario
2000; Syafrimen 2004; Syed Najmuddin 2005; Wan Ashibah 2004; Zuria & Noriah
2003). Untuk itu, penting bagi para pemimpin memiliki keterampilan tersebut.
Latihan berkaitan dengan empati perlu diberikan kepada calon-calon pemimpin
karena sifat ini merupakan basic yang membolehkan mereka dapat memahami apakah
yang sedang dirasakan oleh orang lain.
Penelitian Syafrimen menunjukkan
terdapat beberapa cara untuk melatih sifat empati dalam diri seseorang.
Pertama, melatih sifat empati dengan cara selalu melatih diri untuk memberikan
perhatian terhadap kepentingan orang lain. Perhatian terhadap keadaan orang
lain merupakan basic bagi seseorang untuk dapat memahami orang lain. Mustahil
bagi seseorang dapat merasakan apa yang diarasakan orang lain, sekiranya dia
tidak dapat memberikan perhatian terhadap orang tersebut. Perhatian bukan hanya
sekedar dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, tetapi coba
melakukan sesuatu untuk membantu orang tersebut dari permasalahan yang sedang
dihadapi sesuai dengan kemampuanya. Individu yang selalu memberikan perhatian
terhadap orang lain, berusaha mencarikan jalan penyelesaian walaupun
kadang-kadang perlu mengikut sertakan orang-orang di luar dirinya. Penelitian
Syafrimen ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Daniel Goleman
(1999) yang mendapati seseorang yang mempunyai sifat perhatian dalam dirinya
mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sosial, dan dapat memahami
dengan tepat situasi yang terjadi pada lingkungan tersebut. Individu ini tidak
berhenti sampai di sini, malah coba melihat peluang apakah yang bisa diberikan
terhadap lingkungan sekiranya ada sesuatu yang perlu dibetulkan. Kalau
dikaitkan dengan diri seorang pemimpin, perhatian terhadap keadaan orang lain
sebenarnya merupakan basic yang sangat penting untuk menjadikan pemimpin
tersebut sebagai seorang pemimpin yang baik (Chernis 1998; Corey, Corey &
Callahan 2003; Goleman 1999; Katzenbach 2000; Muhibbin Syah 1995; Tajudin
Ninggal 2003; Shahbani 2005).
Taufiq Pasiak (2007) juga
menyatakan seseorang yang selalu perhatian terhadap orang lain, menjadikan
hatinya lebih baik dan lebih sensitif dengan keadaan orang lain itu. Dari segi
kesehatan juga didapati individu seperti ini lebih sehat ketimbang individu
yang kurang sensitif dengan keadaan orang lain, individu yang hanya sibuk
memikirkan diri sendiri dan tidak peduli dengan lingkungan. Kenapa hal ini bisa
terjadi? Taufiq menyatakan individu yang sensitif dengan keadaan orang lain
selalu memperbaiki dirinya terlebih dahulu sebelum mengulurkan bantuanya kepada
orang lain. Individu seperti ini dilihat sebagai seorang yang mempunyai nilai
tinggi oleh lingkunganya. Nilai tersebut merupakan obat yang paling mujarab
untuk meningkatkan kekebalan pada tubuh seseorang. Keadaan inilah yang
mempengaruhi kesehatan mereka. Realita kehidupan memang membuktikan, sekiranya
seorang pemimpin merasa tidak bernilai ataupun tidak berguna di tengah-tengah
masyarakatnya, bisa menimbulkan stres pada dirinya. Apabila selalu dalam
keadaan stres maka penyakit lain mudah menyerang (Taufiq Pasiak 2007; Zinah
Ahmad & Hamdan Mohd. Ali 2006).
Jika dikaitkan dengan pandangan
Islam perhatia terhadap keadaan orang lain (empati) memang dinilai sebagai
perbuatan yang sangat baik dan bisa mendatangkan pertolongan Sang Khaliq terhadap
individu yang memiliki sifat tersebut. Seperti dinyatakan dalam al-Qur’an; Q.S
Muhammad; 7:
Sesiapa yang menolong Agama Allah
maka Allah akan menolong mereka (Q.S Muhammad; 7).
Orang-orang yang menolong Agama
Allah yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah termasuk orang yang perhatian
terhadap kepentingan hamba-hamba Allah, yang bertugas sebagai khalifah di muka
bumi ini. Jikalau Allah menghendaki, sesuatu yang tidak terfikirkan oleh akal
kita bisa saja terjadi, kerana Dia yang Maha tahu, dan Dia Bisa melakukan
sesuatu berdasarkan kehendaknya, yang kemungkinan tidak terjangkau oleh akal
fikiran manusia.
Kedua, melatih sifat empati
dengan cara selalu melatih diri untuk bertoleransi dan merendahkan ego dengan
orang lain. Individu yang selalu melihat dirinya lebih daripada orang lain,
ataupun sering dikatakan sebagai individu yang egois, dalam realita kehidupan
memang sering dilihat kurang sensitif ataupun kurang peka dengan keadaan orang
lain. Individu seperti ini biasanya mempunyai hati yang keras, berat bagi
dirinya untuk berada pada posisi sejajar dengan orang lain, apa lagi pada
posisi di bawah orang lain. Dia merasakan dirinya lebih hebat, lebih
berkemampuan ketimbang orang lain. Keadaan ini yang menjadikan dirinya sulit
memahami perasaan orang lain. Ciri-ciri individu yang mudah bertoleransi dan
merendahkan ego selalunya mudah memberikan penghargaan kepada orang lain,
memberikan perhatian yang tulus, mau mendengarkan orang lain apabila bercerita
tentang dirinya, senantiasa membuat orang lain penting di hadapanya, mudah
meminta maaf apabila merasa bersalah, ringan lidahnya untuk mengucapkan terima
kasih kepada orang lain, mudah memberikan pujian kepada orang lain, dan selalu
berusaha memahami perasaan orang lain (Ary Ginanjar 2005). Individu yang
memiliki ciri-ciri ini tentunya sangat mudah memahami orang lain, kerana dia
melihat orang lain sangat berharga di hadapannya, menyayangi orang lain sama
seperti menyayangi diri sendiri.
Individu yang mudah bertoleransi
dan merendahkan ego kebiasaanya memiliki prinsip selalu memberi dan mengawali
(Ary Ginanjar 2005). Prinsip memberi dan mengawali merupakan prinsip Bismillah.
Kalau diperhatikan dalam Al-Qur’an semua awal-awal surah diawali dengan
bismillahirrahmanirrahiim. Kalimat ini bermaksud “dengan nama Allah yang Maha
pengasih lagi Maha penyayang” Pengasih dan penyayangnya Allah tidak ada yang
dapat menandingi, Allah tidak hanya mengasihi dan menyayangi umat yang patuh
terhadap Agamanya, tetapi Allah mengasihi semua makhluk ciptaanya. Dengan
perkataan lain tidak pilih kasih. Kasih dan sayang Allah adalah kasih dan
sayang yang tulus, ikhlas yang tiada tandingnya, dan tidak pernah meminta
balasan kasih sayang yang diberikan. Inilah yang dimaksudkan dengan prinsp
Bismillah iatu prinsip selalu memberi dan memulai. Disadari ataupun tidak Allah
telah menjanjikan bahawa Dia akan membalas setiap perbuatan yang dilakukan oleh
hamba-hambanya, seperti dinyatakan berikut ini:
... maka barangsiapa yang
melakukan kebaikan walaupun sebesar biji Zarah, Ia pasti akan melihatnya! Dan barang
siapa melakukan kejahatan walaupun sebesar biji Zarah, Ia juga pasti akan
melihatnya (QS. al-Zalzalah: 7-8).
Cara ketiga yang dihasilkan oleh
penelitian Syafrimen untuk pembinaan sifat empati adalah dengan cara melatih
diri selalu ”fleksibel terhadap orang lain”, iaitu kesediaan seseorang untuk
menerima orang lain dalam pelbagai keadaan. Dalam istilah lain sering juga
disebut menerima orang lain tanpa syarat. Dalam realita kehidupan memang dapat
dibuktikan bahwa seseorang yang dapat menerima orang lain tanpa syarat, sangat
mudah untuk memahami keadaan orang lain, kerana individu seperti ini melihat
orang lain bukan menurut ukuran dirinya tetapi dia coba memahami orang lain
berdasarkan keadaan orang tersebut. Inilah yang menyebabkan dirinya sangat mudah
untuk memahami orang lain. Ini juga sejalan dengan pandangan Daniel Goleman
(1999) yang menyatakan individu yang memiliki sifat fleksibel berkemampuan
untuk menditeksi perasaan orang lain dari perspektif orang tersebut.
Menunjukkan keinginan yang mendalam terhadap kehendak dan masalah yang dihadapi
oleh orang lain. Dirinya sangat sensitif terhadap tingkah laku yang ditunjukkan
oleh seseorang, dan berminat mendengarkan pelbagai masalah yang diceritakan
seseorang kepadanya.
Seperti yang disentuh sebelum ini,
termasuk salah satu ciri seseorang yang memiliki sifat empati adalah mampu
mengembangkan potensi orang lain. Pemimpin memang seharusnya memiliki sifat
ini, karena banyak potensi yang harus diperhatikan dan dikembangkannya.
Pemimpin yang memiliki sifat ini berprinsip bahwa keberhasilan memimpin dapat
dilihat sejauhmana dirinya dapat mengakomodir ataupun mengambangkan
potensi-potensi yang ada di sekelilingya. Dengan perkataan lain, pemimpin yang
berhasil adalah pemimpin yang dapat membantu orang lain berhasil selama dalam
proses kepemimpinanya. Inilah yang disebut dalam Islam sebagai konsep “Rahmatan
Lil ’Aalamin” iaitu prinsip keberhasilan untuk semua orang. Pemimpin yang
memiliki prinsip ini, merasa tidak nyaman sekiranya orang-orang di
sekelilingnya tidak dapat dia bantu untuk memperolehi keberhasilan secara
bersama-sama. Inilah yang dimaksudkan oleh Q.S. al-Qashas: 84 yang bermaksud;
Sesiapa yang membawa kebaikan,
pahalanya adalah lebih baik daripada kebaikan yang dia lakukan...(QS.
al-Qashas: 84)
Syafrimen menyatakan, beberapa
langkah untuk mengembang potensi orang lain adalah: pertama, mengembangkan
potensi orang lain dengan cara memberikan peluang mereka. Memberikan peluang
kepada orang lain secara tidak langsung telah memberikan keyakinan kepada mereka
untuk membuktikan kemampuan yang dia miliki. Individu yang diberikan peluang
untuk bertanggungjawab terhadap suatu pekerjaan, cara penerimaan dan cara
mereka melaksanakan pekerjaan tersebut akan berbeda daripada mereka bekerja di
bawah pantauan orang lain. Secara tidak langsung cara seperti ini merupakan
kaedah untuk mengembangkan potensi orang lain. Menurut Gray (2001) memberikan
peluang kepada orang lain untuk mencoba sesuatu, dengan tujuan mengembangkan
potensi diri mereka sebenarnya merupakan tanggungjawab bagi setiap pemimpin.
Menurut beliau apabila seorang pemimpin merasakan bahwa mengembangkan potensi
orang lain merupakan tanggungjawab, maka dirinya akan merasa bangga dan bahagia
melihat orang lain berhasil.
Inilah salah satu kelebihan
pemimpin yang memiliki sifat empati, yaitu dirinya bahagia melihat keberhasilan
orang lain. Dia merasakan kebahagiaan orang yang berhasil itu sebagai
kebahagiaan dirinya sendiri, karena pemimpin ini melihat orang lain adalah
bahagian dari dirinya yang mesti dibantu sebagaimana membantu dirinya sendiri
(Gray 2001, Al-hadits). Menurut Gray keberhasilan peribadi adalah rasa bahagia
yang dimiliki oleh seseorang, dan berhak dalam proses melaksanakan sesuatu hal
yang ingin dilakukan. Berhak dalam proses melakukan hal yang ingin dilakukan
bukan bermakna hidup tanpa aturan, maknanya di sini adalah bertindak
berdasarkan prinsip kebenaran. Justeru, apabila seseorang memberikan peluang
kepada orang lain untuk membantu mengembangkan potensi dirinya sebenarnya dia
telah memberikan kebahagiaan kepada dirinya sendiri, kerana ini merupakan
fitrah manusia (Al-Qur’an).
Selanjutnya mengembangkan potensi
orang lain dengan cara “memberikan kesadaran”. Al-Ghazali mengelompokan manusia
kepada empat kelompok besar, salah satunya adalah ”kelompok orang yang tahu,
tetapi dia tidak tahu bahwa dirinya tahu”. Dalam relalita kehidupan memang
sering dilihat kelompok orang seperti ini. Orang seperti ini memerlukan orang
lain untuk mengingatkan mereka, karena dia tidak menyadari bahwa dirinya
mempunyai potensi untuk berkembang lebih baik dari apa yang didapatkan
sekarang. Menurut Goleman (1999) individu seperti ini dikaitkan dengan individu
yang rendah kesadaran terhadap diri sendiri ataupun kurang memiliki kreativitas
untuk menilai kekuatan dan kelemahan dirinya. Justeru, individu seperti ini
membutuhkan orang lain untuk memberikan kesadaran supaya dia dapat melihat
kembali potensi yang dimilikinya.
Dalam Islam kaedah ini menjadi
unggulan Rasulullah saw untuk membina umatnya sama-sama menuju keberhasilan. Seperti
dinyatakan dalam Q.S. Ali-Imran: 104:
Dan hendaklah diatara kamu ada
segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS.
Ali Imran: 104).
Menyeru kepada kebajikan termasuk
memberikan peringatan kepada orang-orang yang tidak dapat melihat potensi
dirinya dengan baik. Individu yang menggunakan pendektan ini dikaitkan dengan
keberuntungan. Keberuntungan dimaksudkan adalah keberhasilan individu tersebut
mengingatkan kembali individu yang selama ini kurang melihat potensi yang
dimiliki dalam dirinya. Langkah-langkah yang sampaikan dalam penulisan ini
sejalan dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh orang-orang yang berhasil
membantu mengembangkan potensi orang lain.
Rujukan
- Corey, M. S. & Corey, G. 1997. Groups: Process and practice. Ed. Ke-5. Pcific Grove: Brooks/Cole Publishing Company.
- Corey, Corey dan Callanan. 2003. Issue and ethics in helping profession, 5th Brookes/Cole Pub. Co. Pacific Grove.
- Dulewicz,V.& Higgs, M. 2004. Can emotional intelligence be developed? Journal of Human Ressource management. 15:95-111.
- Goleman. D. 1996. Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.
- Goleman. D. 1999. Working with emotional intelligence. New York: Bantam Books.
- Trikantojo Widodo. 1999. Jakarta: PT.Gramedia Utama.
- Goleman. D. 1999. Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi. Terj. Alex.
- Goleman. D., Boyatzis, R. & Mckee, A. 2002. The new leaders: Transforming the art of leadership into the science of results. London: A Little, Brown Book.
- Ginanjar, A. A., 2005. Rahasia sukses membangkitkan ESQ power: sebuah inner journey melalui al-ihsan. Jakarta: Arga.
- Ginanjar, A. A., 2003. Rahasia sukses membangkitkan ESQ power: sebuah inner journey melalui al-ihsan. Jakarta: Arga.
- Goleman. D. 1995. Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.
- Khadim al-Haramain Asy Syarifain. Al-Qur’an dan terjemahnya. Madinah Al-Munawwarah: Perpustakaan Su‘udi.
- Noriah, M.I., Zuria,M, Siti Rahayah, A. dan Manisah M.A. 2003. Hubungan antara Tanggungjawab Kepada Diri, Pelajaran, Pelajar dan Masyarakat di Kalangan Guru-guru. Prosiding seminar kebangsaan profession pergurun 2003. Bangi: Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.
- Noriah, M.I., Zuria,M, Siti Rahayah.A., dan Manisah, M.A. 2002. Hubungan antara tanggungjawab kepada diri, pelajaran, pelajar dan masyarakat di kalangan guru-guru. Jurnal Pendidikan. Jilid 24: 548-555.
- Noriah M.I., Zuria, M. 2003. Kepintaran Emosi di Kalangan Pekerja di Malaysia. Prosiding IRPA- RMK-8 Kategori EAR. Jilid 1: 184-187.
- Noriah, M.I., Syed Najmuddin, S.H. dan Syafrimen. 2004. Guru dan kepintaran emosi: Implikasi ke atas kebolehan guru dalam menangani masalah sosial pelajar. Prosiding seminar kebangsaan ke-3 psikologi dan masyarakat. Bangi: Pusat penerbitan dan teknologi pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.
- Noriah, M.I. 2005. Pengurusan kecerdasan emosi (EQ) dan pembangunan kendiri pelajar. Prosiding seminar kepengetuaan kebangsaan ke-4. Kuala Lumpur; Universiti Malaya.
- Parson, M & Stephenson, M. 2005. Developing reflective in student teachers: collaboration and critical partnerships.
- Khairul Ummah et al. 2003. Kecerdasan Miliyuner. Bandung: Aha.
- Taufiq Pasiak. 2007. Brain management for self improvement. Bandung: P.T. Mizan.
No comments:
Post a Comment